Sampah plastik menjadi salah satu masalah besar lingkungan dewasa ini akibat jumlahnya yang terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan sampah plastik dibarengi dengan produksinya yang kian pesat, dari industri skala kecil hingga industri skala besar
meggunakan bahan plastik untuk pengemasan produk. Misalnya saja botol
air mineral hingga kantong plastik yang sering kita gunakan terbuat dari bahan plastik.
Ketika produk tersebut sudah tidak digunakan lagi, maka masyarakat biasanya membuangnya di tempat sampah atau membakarnya. Walaupun demikian, hal tersebut masih menyebabkan ancaman yang sangat serius bagi lingkungan dan ekosistem. Sampah plastik yang terbakar dapat menghasilkan beberapa gas berbahaya seperti furan dan dioxin, yang merupakan golongan gas rumah kaca yang berbahaya dan berperan penting dalam penipisan lapisan ozon. Selain itu, dioksin juga dapat menyebabkan kerusakan tanah dan menghambat aktivitas hormon endokrin manusia, sehingga menjadi perhatian utama bagi kesehatan manusia (Ghosh et al. 2013 dalam "Environmental Science Pollution Research").
Sampah plastik yang terbuang juga dapat menimbulkan masalah serius terhadap ekosistem, khususnya di Laut. World Economic Forum pada tahun 2016, merilis data bahwa sampah plastik di Lautan diperkirakan lebih dari 150 juta ton, dan setiap
tahunnya masyarakat di dunia menyumbang 8 juta ton sampah plastik (Baca: Sampah Plastik di Laut Semakin Meningkat, Indonesia Jadi Penyumbang Terbesar di Dunia).
Tidak seperti sampah organik yang mudah terurai, sampah anorganik seperti halnya plastik sangat sulit untuk terurai. Ia dapat bertahan di Lautan dalam waktu yang sangat lama dan membahayakan biota laut (Baca: Sampah Plastik Meningkat, Hewan Laut Terancam).
Setelah menempuh waktu yang sangat lama, sampah plastik tersebut akan terurai menjadi partikel yang lebih kecil atau mikroplastik. Seperti halnya sampah plastik yang berukuran besar, mikro plastik ini juga sangat berbahaya dengan ukurannya yang sangat kecil. Mikroplastik tersebut dapat dengan mudah dikonsumsi hewan laut dan berdampak negatif pada kesehatan (Baca: Mikroplastik, Sampah Kecil yang Mengancam Biota Laut).
Sampah plastik menarik perhatian para akademisi dan peneliti di seluruh dunia, beberapa kajian telah dilakukan untuk mencari solusi dalam mengurangi sampah plastik tersebut, salah satunya yaitu dengan menggunakan mikro organisme (mikroba).
Banyak dari genera jamur dan genera bakteri telah dilaporkan dapat menurunkan berbagai jenis bahan plastik (Ghosh et al. 2013 dalam "Environmental Science Pollution Research"). Dilansir dari Infia, para ilmuwan telah membuktikan dengan melakukan percobaan untuk menguji kemampuan mikroba dalam mengurai plastik jenis polietilen (PE) dan
Polistiren (PS) dari dua pantai di Yunani. Kedua sampel tersebut kemudian
dicelupkan ke dalam larutan garam yang telah dimasukan mikroba. Dalam waktu lima bulan, bobot sampel plastik tersebut mengalami penurunan.
Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa mikroba dapat berperan penting dalam mengurangi limbah plastik. Biofilm mikroba dapat berkembang dengan cepat pada plastik yang terendam, sesuai dengan perubahan signifikan dalam sifat fisikokimia plastik yaitu hidrofobisitas permukaan dan daya apung. Walaupun bakteri mudah berkoloni pada bahan plastik, namun masih perlu untuk dilakukan kajian lebih lanjut (Lobelle dan Cunliffe 2011 dalam Marine Pollution Bulletin).
Posting Komentar